Hakekat/ Hakikat hidup manusia adalah berusaha untuk memenuhi kebutuhannya sampai mencapai tingkat kepuasan tertentu. Hakikat hidup menurut Islam adalah Sel
Konsep Negara dan Relevansi terhadap NKRI Perspektif Emha Ainun NadjibKajian berikut ini relatif baru dilakukan karena mengetengahkan konsep negara dan pemerintah berdasarkan pemikiran Cak Nun. Selain sebagai penelitian awal, apa yang ditulis oleh Muh. Ainun Najib Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Budy Sugandi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, dan Ismail Suardi Wekke Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sorong penting dikemukakan karena belum banyak dilakukan tidak menurut temuan mereka pemikiran Cak Nun tersebut dinilai mampu memberikan wacana alternatif tentang pandangan negara, pemerintah, dan kekuasaan di peneliti menyodorkan dua hasil. Pertama, Cak Nun berpendapat pentingnya pembedaan antara lembaga negara dan lembaga pemerintahan, termasuk distingsi kepala negara dan kepala pemerintah supaya terwujud kejelasan sekaligus kestabilan pemimpin serta kepemimpinan hendaknya menguasai medan di lapangan secara utuh dengan kualitas keilmuan yang dimiliki. Itulah sebabnya, komprehensi harus menjadi prasyarat seorang pemimpin agar tidak sekadar sebatas perpanjangan partai, golongan, maupun itu diambilnya dari sejumlah penelusuran tekstual maupun verbal Cak Nun. Sejauh pengamatan peneliti, Cak Nun bukan hanya memiliki modal sosial sebagai basis pengaruh, melainkan juga konsep-konsep yang salah satunya membicarakan negara dan kekuasaan. Otoritasnya, dengan kata lain, adalah tokoh masyarakat sekaligus cendekiawan yang punya pengaruh besar di masyarakat di satu pihak dan seorang penulis produktif di pihak lain. Tulisan dan tuturan itu dipakainya sebagai medium komunikasi kepada masyarakat pengetahuan yang Cak Nun sampaikan sarat akan kritikan. Kritik tersebut adalah bagian dari kebebasan berpendapat. Penyampaian kritik, baginya, merupakan perwujudan cinta Cak Nun terhadap negara. “…[i]ngin memberikan sumbangsih sebuah pemikiran politik mengenai sebuah konsep negara yang bagus menurutnya untuk dijalankan oleh Indonesia kedepannya” hlm. 280.Tanpa kritik kekuasaan cenderung dijalankan secara korup. Apalagi selama ini Cak Nun memandang akar kegaduhan berikut permasalahan negara mendasar belakangan tak terlepas dari “segi mengonsep negara”. Disadari atau tidak, bila masalah paling elementer saja belum selesai, problem sertaan yang mengiringi tidak akan permasalahan yang dihadapi itu meliputi ketidakjelasan kedudukan negara dan pemerintah. Distribusi kekuasaan pun berjalan sengkarut. Memang, sejauh dicatat peneliti, negara Indonesia mengadopsi sistem pemerintahan presidensial tak ada pemisahan fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan. Belum lagi perbedaan itu disandingkan dengan posisi rakyat, betapa semakin lengkap dan kentara kegamangan berikutnya berhilir pada konsentrasi kepatuhan seseorang yang malah mengacu kepada atasan atau pemerintah, bukan Undang-Undang Negara yang sifatnya substansial. Benih-benih feodalisme, dengan demikian, masih menghunjam kuat di tubuh aparatus kekuasaan, sekalipun ruh demokrasi terus direproduksi di tiap mimbar. Masalah ini semakin kompleks ketika diperhadapkan dengan penyebutan pegawai negeri sipil karena sebetulnya mereka tak ubahnya pegawai sipil berikut turunan paling bawah seharusnya mengabdi kepada rakyat. Namun, praktik selama ini justru sebaliknya. Rakyat malah harus menghamba kepada birokrat, baik level kelurahan, kecamatan, kebupatian, kegubernuran, kementerian, maupun kepresidenan. Cak Nun berargumen bahwa mereka seharusnya patuh kepada konstitusi dan rakyat semestinya diposisikan tinggi. Betapapun tanpa rakyat mereka bukanlah yang dinilai sebagai bentuk pemerintahan paling baik pun tak luput menuai paradoks. Ia ideal di tatataran ide tapi belum tentu di ranah faktual. Apalagi pertimbangan jumlah rakyat yang di Indonesia terkesan kurang memadai bila hanya dijawab demokrasi sebagai solusi permasalahan. Demokrasi akan efektif dijalankan dalam konteks rakyat yang tidak bejibun sebagaimana di luar itu semua apa yang hendak dibicarakan Cak Nun adalah pentingnya, “beda antara keluarga dengan rumah tangga, antara kepala keluarga dengan kepala kepala rumah tangga, termasuk antara almari kas negara dengan laci kas rumah tangga, juga antara bendahara dengan kasir,” catat peneliti hlm. 282. Pembagian ranah kekuasaan ini sesungguhnya menggarisbawahi bagaimana negara dan pemerintah memiliki cakupan yang berlainan. Keduanya seharusnya memiliki tugas dan wewenang masing-masing. Tidak malah dijalankan sekaligus oleh presiden, baik sebagai kepala negara maupun Cak Nun tersebut tidak jauh dari masalah manajerial. Ia praktis mengidap disfungsi manakala logika keorganisasian saja tidak dipertimbangkan. Pertanyaan berikutnya, apakah pendiri bangsa tidak memprediksi masalah sistemis atas implikasi dari penyamaan negara dan pemerintah? Bukankah mereka berlatar belakang kaum terdidik Eropa? Pertanyaan ini mau tidak mau memerlukan kajian lebih lanjut karena sudah memasuki wilayah sejarah berdirinya sayangnya hanya mengulas sekilas pada subbagian Sejarah Sistem Pemerintahan Indonesia. Kurangnya porsi pembahasan seputar genealogi sistem kenegaraan Indonesia membuat kajian mereka masih terkesan sepintas lalu. Kendati demikian, tetap perlu ditengok untuk menunjukkan sejauh mana konteks historis turut membentuk sistem kenegaraan hari Republik ini berdiri sistem yang dianut Indonesia adalah sistem pemerintahan presidensial. Adanya Konferensi Meja Bundar KMB mengubah peta sistem dan politik negeri, sehingga atas “pengakuan” kerajaan Belanda atas kedaulatan Indonesia tanpa syarat berikutnya terlahir Republik Indonesia Serikat RIS. Berlaku sejak 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus RIS membuat sistem pemerintahan Indonesia menjadi parlementer. Walau praktik di lapangan tak sepenuhnya dijalankan dan karenanya waktu itu disebut sebagai “parlementer semu” hlm. 282. Tahun 1950 kemudian lahir Undang-Undang Dasar Sementara yang berlaku sejak 17 Agustus 1950 hingga 5 Juli 1959. Berakhirnya UUDS ditandai oleh keluarnya Dekrit Presiden Soekarno. Bung Besar mengintroduksi demokrasi Soekarno baik tapi sebagian besar kalangan menilai bila “demokrasi terpimpin” diterapkan maka akan terjebak pada absolutisme—suatu pemusatan kekuasaan yang melampaui batas dan akan mengingkari cita-cita demokrasi. Wakil Presiden Hatta sampai mengundurkan diri. Soekarno jamak dikritik, khususnya oleh Bung Hatta dari luar Soekarno kelihatannya luhur sebab demokrasi terpimpin masih diperlukan karena sangat khas Indonesia. Sementara itu, menurutnya rakyat Indonesia masih berada di tengah situasi revolusi “pasca-fisik” sehingga gagasan Soekarno dianggap paling di balik propaganda Sang Putra Fajar terbentang permasalahan ekonomi dan politik yang amat serius harga bahan pokok membumbung, nilai rupiah anjlok, aparatus militer kurang solid. Daftar masalah masih bisa diperpanjang sampai masalah pembubaran partai, pembredelan media, dan lain sistem pemerintahan selalu diiringi oleh dinamika kekuasaan. Peneliti membatasi pada kerangka tonggak-tonggak yang terjadi selama kurun waktu lebih dari setengah abad berdirinya Republik Indonesia. Terlepas dinamika internal maupun eksternal, apa yang perlu dicatat di sini perihal konsep pemikiran Cak Nun tentang kenegaraan adalah kembalinya esensi baldatun thoyyibatun warobbun ghafur yang di Jawa senada dengan pengertian tata tentrem kerja raharja hlm. 285.Selain diperlukan distingsi negara dan pemerintah, Cak Nun menggarisbawahi bahwa negara harus menciptakan ketenteraman bagi masyarakatnya. “Urusan negara sebaiknya tidak hanya mengandalkan para politisi dan para aktivis pergerakan, sebab itu hanya masalah hukum, konstitusi dan kekuasaan. Dalam mengurus negara, harus mau melihat sejarah yang memerlukan seorang begawan, kaum brahmana, butuh panembahan dan butuh rohaniawan, dulu disebutnya sebagai DPA Dewan Pertimbangan Agung” hlm. 28.Pilar yang menjaga bangsa dan negara, menurut Cak Nun, harus konfiguratif dengan kedalaman, ketinggian, dan kekuataan seluruh elemen. Ia mewedar enam pokok. Pertama, rakyat sebagai bangunan pokok sebuah negara. Kedua, TNI sebagai pertahanan. Ketiga, intelektual yang meliputi pelajar, seniman, akademisi, maupun para ahli di bidang spesifik lainnya. Keempat, adat dan budaya. Kelima, kekuatan yang dijelaskan para peneliti dalam kajian ini cukup memadai. Paling tidak sudah mendeskripsikan lokus pemikiran Cak Nun seputar negara dan pemerintah, walaupun masih terkesan kurang rinci sebab melupakan satu hal. Salah satunya perkara pihak di luar negara dan pemerintah yang memiliki otoritas kekuasaan nonformal oligarki sebetulnya sering diwacanakan Cak Nun, baik di esai maupun di mimbar Maiyahan, meski beliau lebih memakai istilah “pemodal” sebagai faktor penentu jalannya kekuasaan dewasa ini. Andaikata penelti turut mengelaborasi bagiaman konsep Cak Nun terhadap persoalan oligarki, saya kira kajian yang dilakukan akan membicarakan negara, pemerintah, dan aparatus kekuasaan tidak mungkin tidak menyebut faktor ekonomi-politik di belakangnya? Oligarki ini menurut Robison dan Hadiz 2004 sudah menubuh ke dalam struktur politik di Indonesia. Membicarakan negara dan pemerintah, dengan demikian, semestinya jangan melupakan jeratan oligarkis di partai politik maupun parlemen.

Sebelumnya Cak Nun memang menggaungkan konsep "hijrah" dalam dakwahnya. Ia yakinkan para pendengarnya bahwa yang hijrah dan berjihad karena Allah, untuk meraih rahmat dan keridhaannya, adalah mereka yang mukmin sejati yang tidak hanya akan memperoleh pengampunan, melainkan pula keberkahan rezeki, nikmat mulia, serta kemenangan di sisinya.

Biografi Cak Nun – Siapa yang tidak mengenali tokoh budayawan sekaligus sastrawan yang akrab disapa Cak Nun alias Emha Ainun Nadjib di mana pandangan dan karya-karya sastranya telah tersebar dan dikenal secara luas. Melalui karya-karyanya, Cak Nun memiliki penyampaian yang berbeda untuk menyampaikan keresahan hatinya mengenai masalah sosial dan keagamaan. Tulisannya banyak menginspirasi penggemarnya. Latar belakangnya sebagai seorang budayawan dan pendakwah menjadikan keberadaan Cak Nun sebagai tokoh penting dalam berbagai acara. Dari berbagai acara terutama dalam acara-acara keagamaan dan kebudayaan, Cak Nun memberikan pandangan keagamaan, sosial, dan kebudayaan melalui dialog-dialog yang dilakukannya. Karena latar belakang yang dimilikinya adalah sebagai pendakwah yang mana Cak Nun juga sempat mengenyam pendidikan di Pondok Modern Darussalam Gontor, menjadikannya lebih dikenal sebagai tokoh keagamaan. Sebagai seorang yang aktif untuk menyampaikan kajian-kajian keagamaan dan kebudayaan, Cak Nun melalui karyanya juga dikenal sebagai seorang sastrawan. Kata-katanya yang terdapat di dalam karya-karyanya sering dijadikan sebuah konten dalam berbagai media. Pengalaman hidup yang dilaluinya menjadikan Cak Nun memilih untuk mengandalkan hidupnya sendiri hingga dirinya terkenal sebagai seorang tokoh intelektual muslim di Indonesia. Cak Nun dikenal melalui kritik-kritiknya dalam berbagai bentuk, seperti pada puisi, esai, cerpen, film, drama, lagu, musik, seminar, hingga tayangan video. Sebagai salah satu bentuk karyanya yaitu bentuk kegelisahan Cak Nun dari adanya pelarangan jilbab oleh pemerintah Orde Baru yang sensitif karena adanya penampakan ekspresi keislaman sehingga pada tahun 1982 pemerintah Orde Baru melarang pemakaiannya di sekolah negeri. Dari keresahannya tersebut, Emha Ainun Nadjib menuangkannya dalam sebuah karya berupa puisi yang berjudul “Lautan Jilbab”. Dari penjelasan di atas, berikut biografi seorang tokoh Emha Ainun Nadjib. A. Biografi Singkat Cak Nun – Emha Ainun NadjibB. Cak Nun dan Kiprahnya dalam Kepenulisan1. Memberikan sumbangsih yang besar melalui tulisan-tulisannya2. Aktif dan berperan penting dalam berbagai festival sastra dan lembaga kebudayaan3. Beberapa Buku Karya Emha Ainun Nadjiba. Buku Puisi Karya Cak Nunb. Esai Karya Cak Nunc. Buku Karya Cak NunC. Cak Nun dan Kiprahnya dalam Dunia Nun Membentuk Grup Musik dan Kelompok Kajian5. Menjunjung Pluralisme Emha Ainun Nadjib memiliki nama lengkap Muhammad Ainun Nadjib, merupakan salah satu tokoh keagamaan, penyair, dan budayawan yang terkenal. Lahir di Menturo, Sumobito, Jombang, Jawa Timur pada 27 Mei 1953 yang berasal dari pasangan M. A. Lathief dan Halimah dan merupakan putra keempat dari lima belas bersaudara. Ayahnya merupakan pemimpin lembaga pendidikan dan merupakan pengelola TK sampai SMP. Oleh karena ayah Cak Nun merupakan pemimpin dan pengelola lembaga pendidikan, Cak Nun merasa malu dan memilih untuk masuk ke sekolah dasar negeri yang tempatnya berada di desa tetangga. Perjalanannya dalam menempuh pendidikan dimulai dari TK, SD, di mana setamat SD, Cak Nun melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo. Tetapi dalam perjalanannya menempuh pendidikan non formal ini tidak sampai diselesaikan oleh Cak Nun karena terdapat masalah di mana Cak Nun dituduh menjadi penggerak aksi santri untuk melakukan demonstrasi menentang para guru hingga akhirnya Cak Nun dikeluarkan dari pesantren. Kemudian dari peristiwa tersebut, Cak Nun memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang SMP melalui lembaga pendidikan yang dimiliki oleh ayahnya hingga kemudian Cak Nun mendapatkan ijazah SMP. Selanjutnya, Cak Nun kemudian melanjutkan pendidikannya hingga ke jenjang SMA di SMA Muhammadiyah I Yogyakarta dengan memilih jurusan Paspal. Tamat dari SMA, Cak Nun kemudian melanjutkan pendidikannya kembali di Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tetapi, dalam jenjang perkuliahannya ini, Cak Nun hanya dapat bertahan selama empat bulan dan tidak melanjutkannya karena pada tahun 1974 Cak Nun mendapatkan musibah di mana ayahnya mengalami kecelakaan lalu lintas hingga meninggal. Kegemaran Cak Nun di bidang teater mengantarkan dirinya untuk mengenal sosok Neneng Suryaningsih hingga Cak Nun dan Neneng kemudian menikah. Neneng Suryaningsih merupakan seorang penari yang berasal dari Lampung. Cak Nun dan Neneng bertemu ketika keduanya sama-sama aktif dalam kegiatan Teater Dinasti, Yogyakarta. Pada tahun 1979 keduanya dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Sabrang Mowo Damar Panuluh yang merupakan personil dari grup band Letto. Namun, usia pernikahannya dengan Neneng tidak bertahan lama hingga keduanya memutuskan untuk bercerai. Setelah keduanya berpisah, pada tahun 1995 Cak Nun menikah dengan seorang seniman film, panggung, dan penyanyi yang bernama Novia Kolopaking. Pernikahannya dengan Novia dikaruniai empat anak yaitu Aqiela Fadia Haya, Jembar Tahta Aunillah, Anayallah Rampak Mayesha, dan yang meninggal di dalam kandungan yaitu Ainayya Al-Fatihah. B. Cak Nun dan Kiprahnya dalam Kepenulisan Source Awal perjalanannya dalam kepenulisan sudah dimulai sejak akhir tahun 1969. Di mana usia Cak Nun menginjak usia 16 tahun di mana saat itu Cak Nun meninggalkan pendidikan pesantrennya dan melanjutkan pendidikannya di SMA Muhammadiyah I Yogyakarta. Kemudian pada tahun 1975 karya-karyanya telah dibukukan. Tulisan-tulisannya telah dibukukan dalam berbagai jenis karya sastra seperti puisi, cerpen, naskah drama, esai, quotes, transkrip, hingga wawancara. Berikut perjalanan prestasi Cak Nun dalam ranah sastra. 1. Memberikan sumbangsih yang besar melalui tulisan-tulisannya Pada tahun 1980 hingga 1990 dengan rentang waktu 20 sampai 30 tahun setelahnya, bukunya masih terus diterbitkan karena dinilai masih kontekstual dengan situasi dan kondisi kehidupan di Indonesia. Karya-karyanya tersebut banyak terbit dan tersebar di majalah Tempo, Basis, Horison, Tifa Sastra, Mimbar, Pandji Masjarakat, Budaja Djaja, Dewan Sastera Malaysia, dan Zaman. Tak hanya di majalah, karyanya juga terbit sebagai rubrik kolom dan tersebar di surat kabar yakni di Republika, Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, Kedaulatan Rakyat, Berita Nasional, Masa Kini, Berita Yudha, Haluan, Suara Karya, Suara Pembaruan, dan Surabaya Post. Dari kumpulan karyanya tersebut menghasilkan buku yang berupa kumpulan esainya yang masuk ke dalam kategori sosial dan budaya. Konsistensinya berkiprah di dalam dunia sastra dimulainya sejak muda di mana Cak Nun bergabung dengan kelompok diskusi dan studi sastra pada tahun 1970 yang dipimpin oleh Umbu Landu Paranggi, Persada Studi Klub PSK, di bawah Mingguan Pelopor Yogyakarta. Kegiatannya tersebut dimulai ketika Cak Nun menulis puisi di harian Masa Kini dan Berita Nasional. Tak hanya itu, Cak Nun juga menulis puisi di Majalah Muhibbah yang mana merupakan majalah terbitan UII Yogyakarta dan menulis cerpen di Minggu Pagi dan MIDI. Dari perjalanannya tersebut, Cak Nun kemudian banyak menerbitkan puisinya di media massa terbitan Jakarta seperti Horison. Ketidakpuasannya membuat Cak Nun menghasilkan sajak dan cerpen ringan yang kemudian berlanjut menulis esai, kritik drama, resensi film, dan pembahasan mengenai pameran lukisan. Cak Nun menggunakan nama samaran Joko Umbaran atau Kusuma Tedja dalam tulisan-tulisannya. 2. Aktif dan berperan penting dalam berbagai festival sastra dan lembaga kebudayaan Pada tahun 1975, Cak Nun mengikuti sebuah Festival Puisi 1975 di Jakarta dan diundang dalam Festival Puisi Asean 1978. Cak Nun juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina pada tahun 1980, International Writing Program di Lowa University Amerika Serikat pada tahun 1984, Festival Penyair Internasional di Rotterdam Belanda pada tahun 1984, Festival Horizonte >III di Berlin, Jerman pada tahun 1985, dan berbagai pertemuan sastra dan kebudayaan sejenisnya. Cak Nun pernah menjadi redaktur kebudayaan di harian Masa Kini sampai pada tahun 1977 dan menjadi pemimpin Teater Dinasti, Yogyakarta. Selain itu, Cak Nun juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Dewan Kesenian Yogyakarta. Tak hanya itu, Cak Nun juga ikut menangani Yayasan Pengembangan Masyarakat Al-Muhammady di Jombang yang bergerak di bidang pendidikan, sosial ekonomi, dan sosial budaya. Tak berhenti di situ, Cak Nun membentuk sebuah komunitas yang diberi nama “Komunitas Padhang Mbulan” pada tahun 1995. Komunitas tersebut dibentuk untuk membentuk sebuah kelompok pengajar. Cak Nun juga berkiprah dalam Yayasan Ababil di Yogyakarta yang menyediakan tenaga advokasi pengembangan masyarakat dan penciptaan tenaga kerja. 3. Beberapa Buku Karya Emha Ainun Nadjib Berikut rentetan karya Emha Ainun Nadjib. a. Buku Puisi Karya Cak Nun “M” Frustasi 1976; Sajak-Sajak Sepanjang Jalan 1978; Sajak-Sajak Cinta 1978; Nyanyian Gelandangan 1982; 99 Untuk Tuhanku 1983; Suluk Pesisiran 1989; Lautan Jilbab 1989; Seribu Masjid Satu Jumlahnya 1990; Cahaya Maha Cahaya 1991; Sesobek Buku Harian Indonesia 1993; Abracadabra 1994; dan Syair Asmaul Husna 1994. b. Esai Karya Cak Nun Dari Pojok Sejarah 1985; Sastra Yang Membebaskan 1985; Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya 1994; Tuhanpun Berpuasa 1995; 2,5 Jam Bersama Soeharto 1998; Segitiga Cinta 2001; Trilogi Kumpulan Puisi 2001; Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan 1998; Ziarah Kebangsaan 1998. c. Buku Karya Cak Nun Mbah Nun Bertutur Kalau Kamu Ikan Jangan Ikut Lomba Terbang BH - Kumpulan Cerpen Emha Ainun Nadjib Cover Baru Semesta Emha Ainun Nadjib Rahman Rahim Cinta Indonesia Bagian Dari Desa Saya Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar Lockdown 309 Tahun C. Cak Nun dan Kiprahnya dalam Dunia Teater Perannya untuk karya seni teater cukup memberi prestasi. Cak Nun memberikan peran aktif dalam kehidupan multi kesenian di Yogyakarta. Di mana Cak Nun pernah berkecimpung di dunia teater bersama Halim HD, menjadi networker kesenian melalui Sanggarbambu, dan aktif dalam Teater Dinasti. Perannya dalam Teater Dinasti menghasilkan beberapa repertoar dan pementasan drama yang mana di antaranya yaitu 1 Geger Wong Ngoyak Macan Tahun 1989 mengenai pemerintahan Soeharto. 2 Patung Kekasih Tahun 1989 mengenai pengkultusan. 3 Keajaiban Lik Par Tahun 1980 mengenai eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern. 4 Mas Dukun Tahun 1982 mengenai gagalnya lembaga kepemimpinan modern. Sedangkan perannya dalam Teater Salahudin menghasilkan pentas yang berjudul Santri-Santri Khidhir pada tahun 1990, yang mana diperankan oleh Cak Nun di Lapangan Gontor dengan seluruh santri dan dihadiri penonton di Alun-Alun Madiun. Selain itu, Cak Nun mementaskan teaternya kembali dengan judul Lautan Jilbab pada tahun 1990 yang mana dipentaskan secara massal di Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar. Juga pentas lainnya yaitu yang berjudul Kiai Sableng dan Baginda Faruq pada tahun 1993, Perahu Retak pada tahun 1992 mengenai Indonesia pada zaman Orde Baru yang digambarkan lewat situasi konflik Pra-Kerajaan Mataram di mana naskah teaternya ini dijadikan buku dan diterbitkan oleh Graha Pustaka. Pentas teater lainnya yaitu Di Samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, dan Duta Dari Masa Depan. Tentunya dari keseluruhan tersebut menghantarkan Cak Nun sampai ke kiprahnya saat ini. Nun Membentuk Grup Musik dan Kelompok Kajian Tak berhenti di ranah tulis-menulis dan teater, Cak Nun mengembangkan ke ranah musik. Dengan berkolaborasi bersama kelompok musik Gamelan Kiai Kanjeng dan menghasilkan album perdananya yang rilis pada tahun 1995. Dengan lagu andalan Tombo Ati di album yang bertajuk Kado Muhammad. Cak Nun membuat sebuah wadah untuk menampung permintaan dialog dan diskusi dari masyarakat yang diberi nama Pengajian Padhang Mbulan. Wadah diskusi ini diadakan setiap bulan di kampung halamannya. Sebenarnya ide untuk membuat kelompok diskusi dan kajian ini berawal dari agenda keluarganya, tetapi kemudian forum diskusi dan kajian tersebut meluas ke masyarakat. Bertahap dari langkah awal tersebut, forum diskusi dan kajian yang dikembangkan oleh Cak Nun bertransformasi menjadi Jamaah Maiyah. Forum tersebut kemudian dijadikan oleh Cak Nun dan para pengurusnya menjadi tempat untuk berdiskusi mengenai memberikan solusi dari adanya masalah sosial. Jamaah Maiyah pertama kali dilaksanakan di Jakarta dan semakin meluas di berbagai kota di Indonesia. Dari berbagai macam namanya yang berbeda-beda di tiap wilayah seperti Tombo Ati di Surakarta, Paparandang Ate di Sulawesi Selatan, Bangbang Wetan di Surabaya, dan Mocopat Syafaat di Yogyakarta. Berperan aktif dalam segala hal baik menjadi pembicara dan narasumber di berbagai acara membuat Cak Nun banyak menghabiskan waktu untuk berkeliling ke berbagai daerah di Indonesia. Dari kegiatannya tersebut, Cak Nun selalu ditemani oleh kelompok music Gamelan Kyai Kanjeng. Tak hanya itu, Cak Nun juga menyampaikan kajian islami di acara lain. Dari sosoknya yang mampu memberikan banyak manfaat melalui kajian-kajiannya yang disampaikan, terhitung rata-rata dalam satu bulan Cak Nun mengisi acara-acara tersebut mencapai lima belas kali. Dari perannya tersebut, Cak Nun berusaha untuk melakukan dekonstruksi pemahaman terhadap cara berpikir, metode hubungan cultural, pola komunikasi, dan nilai dalam masyarakat. Di dalam acaranya, sholawatan menjadi satu agenda wajib. Tak hanya forum kajian dan diskusi yang diadakan, Cak Nun juga mengadakan workshop kecil bagi mereka yang datang dan ikut dalam acara Sinau Bareng. Dengan dibantu oleh para penabuh Gamelan Kiai Kanjeng, mereka yang datang diajak naik ke panggung untuk menyanyikan tembang dan melestarikan budaya melalui permainan tradisional. Kegiatan yang dilakukan oleh Cak Nun tersebut sering disebut sebagai dakwah secara kultural. 5. Menjunjung Pluralisme Saat Cak Nun bersama Grup Musik Kyai Kanjeng sedang bershalawat dengan gaya gospel yang kuat dan diiringi musik gamelan kontemporer di hadapan jamaah yang berkumpul di depan panggung Masjid Cut Meutia dengan balutan busana yang serba putih, dirinya menyampaikan ujaran, “Tidak ada lagu Kristen, tidak ada lagu Islam. Saya bukan bernyanyi, saya bershalawat.” Dari ujarannya tersebut dapat dilihat bahwa tampaknya Cak Nun berusaha untuk memperbaiki cara berpikir masyarakat mengenai pemahaman agama. Tak hanya itu, Cak Nun juga menyampaikan hal-hal yang kontroversial. Sejatinya, di dalam berbagai komunitas yang dibentuknya, oase pikiran yang muncul dari ujarannya membantu menyegarkan hati dan pikiran. Cak Nun selalu menyampaikan dalam forum kajiannya dan komunitasnya mengenai pluralisme. Menurut Cak Nun sejak zaman Majapahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme yang mana Cak Nun memberikan ujaran pendapatnya bahwa, “ Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar.” Cak Nun berpendapat bahwa pluralisme bukanlah menganggap semua agama adalah sama. Islam berbeda dengan Kristen, Budha, Katolik, dan Hindu. Sebagaimana ujaran pendapatnya, “Tidak bisa disamakan, yang beda biarlah berbeda. Kita harus menghargai itu semua.” Baca juga artikel terkait “Biografi Cak Nun” berikut ini Biografi Ki Hajar Dewantara Biografi Bob Sadino Biografi Mark Manson ePerpus adalah layanan perpustakaan digital masa kini yang mengusung konsep B2B. Kami hadir untuk memudahkan dalam mengelola perpustakaan digital Anda. Klien B2B Perpustakaan digital kami meliputi sekolah, universitas, korporat, sampai tempat ibadah." Custom log Akses ke ribuan buku dari penerbit berkualitas Kemudahan dalam mengakses dan mengontrol perpustakaan Anda Tersedia dalam platform Android dan IOS Tersedia fitur admin dashboard untuk melihat laporan analisis Laporan statistik lengkap Aplikasi aman, praktis, dan efisien
Apabilaada nun yang disukun jatuh sebelum ba' itu harus di ganti dengan mim didalam pengucapan. Karena mengucapkan nun mati sebelum ya' itu adalah sulit sebab pertukaran makhroj antara nun dan ba' beserta hilangnya Lain dan Ghunnah karena bertemu huruf ba' yang mempunyai sifat syiddah atau keras. Baik nun sukun dan ba' berkumpul dalam satu kalimat atau pisah.

Ringkasan Cak Nun adalah cendekiawan muslim otodidak. Pemikiran ke-Islam-annya berada di luar jalur utama Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia yang umum dikenal. Kedua jalur itu utama itu masing-masing memiliki latar belakang pendidikan pesantren tradisional, kemudian mengenyam pendidikan Islam di Universitas, dan kelak mewarnai pemikiran dan kehidupan keislaman di Indonesia. Sementara Cak Nun berada diluar arsitektur jalur pemikiran Islam tersebut. Maka, dalam pemikiran Cak Nun ditemukan hal-hal yang tak terduga dan mengejutkan. Terlebih pada orang yang terbiasa dengan konvensi-konvensi pemikiran dan organisasi Islam yang kaku. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Ber-Islam ala Cak Nun “Otentisitas Pemikiran Cak Nun dalam Riuh Pemikiran Islam Kontemporer” Ringkasan Cak Nun adalah cendekiawan muslim otodidak. Pemikiran ke-Islam-annya berada di luar jalur utama Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia yang umum dikenal. Kedua jalur itu utama itu masing-masing memiliki latar belakang pendidikan pesantren tradisional, kemudian mengenyam pendidikan Islam di Universitas, dan kemudian mewarnai pemikiran dan kehidupan keislaman di Indonesia. Sementara Cak Nun berada diluar arsitektur jalur pemikiran Islam tersebut. Maka, dalam pemikiran Cak Nun ditemukan hal-hal yang tak terduga dan mengejutkan. Terlebih pada orang yang terbiasa dengan konvensi-konvensi pemikiran dan organisasi Islam yang kaku. Keyword Cak Nun, Emha Ainun Nadjib, Maiyah, Gus Dur, Cak NurCak Nun adalah cendekiawan muslim otodidak. Pemikiran ke-Islam-annya berada di luar jalur utama Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia yang umum dikenal. Seperti disampaikan oleh Greg Barton, “Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia” dipelopori oleh 2 pendekar dari Jombang ditambah Djohan Effendi dan Ahmad Wahib di awal 1970an. Kedua Pendekar dari Jombang yang notabene basis Pesantren dan Nahdatul Ulama itu adalah Nurcholis Madjid yang lebih akrab dipanggil Cak Nur. Seorang pendekar lagi adalah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Nurcholis Madjid sejak kecil masuk Pesantren di tanah kelahirannya dan terakhir belajar di Pondok Modern Gontor. Setamat dari Gontor, Cak Nur melanjutkan belajar di IAIN Syarif Hidayatullah Sekarang UIN Syahid. Sementara Gus Dur adalah darah biru Kiai. Gus Dur cucu dari KH. Hasyim Asy’ari –pendiri Nahdatul Ulama- dan putra dari KH. Wahid Hasyim yang pernah menjabat sebagai Menteri agama diawal kemerdekaan. Gus Dur kenyang dengan pengalaman nyantri di Pesantren. Namun, Gus Dur juga menghabiskan buku-buku hasil pemikiran Barat disela-sela kegiatan rutinnya di Pesantren. Gus Dur kemudian pergi ke Al Azhar yang membuatnya bosan hingga akhirnya pindah ke Baghdad. Dari Baghdad, Gus Dur ingin melanjutkan belajar ke Eropa tapi gagal karena ijazah dari Baghdad tidak diakui di Eropa. Sedangkan Djohan Effendi adalah pemuda Banjar yang menempuh study di IAIN Sunan Kalijaga UIN Suka Yogyakarta, kota yang secara tradisional memiliki akar intelektual yang kuat. Banjar sendiri dikenal sebagai produsen ulama Islam Tradisional. Di Yogyakarta, Djohan Effendi memiliki teman seperjuangan, yaitu Ahmad Wahib, seorang pemuda dari Sampang Madura yang juga basis Islam Tradisional. Mereka berempat adalah generasi yang lahir menjelang tahun 1940. Pemikiran-pemikiran mereka tentang masa depan ummat Islam kemudian didukung oleh Mukti Ali, Harun Nasution dan Munawir Sadzali dengan membangun infrastruktur pemikiran dan memfasilitasi para “calon pembaharu” ini dan generasi sesudahnya untuk belajar ke universitas-universitas di luar negeri. Cak Nur belajar ke Chicago, USA, kepada Fazlur Rahman –cendekiawan Muslim asal Pakistan yang masygul karena tidak diterima di tanah airnya sendiri. Djohan Effendi menjadi pegawai negeri. Sedangkan Ahmad Wahib tidak sempat mencicipi penjelajahan intelektual lebih lama karena wafat dengan cara yang tragis di usia 30 tahun. Mereka berempat–belakangan oleh para peneliti Barat- dikategorikan sebagai kalangan Neo-Modernis. Kategorisasi ini merujuk dari paradigma keempat orang tersebut yang jika dirunut, asal mulanya adalah dari pemikiran yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman. Neo-Modernis adalah gagasan yang men-sintesa-kan Rasionalisasi Pemikiran Islam dengan Kajian Kitab-kitab Klasik. Baik Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid maupun Djohan Effendi merupakan representasi yang akurat untuk kriteria tersebut. Pertama, mereka adalah lulusan Pesantren yang menguasai kitab-kitab klasik karya cendekiawan Muslim abad-abad awal Islam mulai berkembang hingga abad pertengahan Eropa. Kedua, mereka belajar ke perguruan tinggi Islam modern yang membuka wawasan mereka pada hasil ijtihad baru dan wacana-wacana diluar kitab klasik. Diantara arus besar pembaruan pemikiran Islam itulah, satu generasi sesudahnya-lahir pasca 1950- ada seorang remaja bandel dari Jombang yang “disingkirkan” dari sekolahnya di desa dan kemudian “diusir” dari Pondok Modern Gontor. Pemuda itu kemudian lari ke Yogyakarta. Dia melanjutkan sekolah di SMA Muhammadiyah 1. Setelah lulus SMA, remaja itu sempat mencicipi hampir satu semester kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Dia kemudian memilih hijrah sepenuhnya ke Malioboro dan hidup menggelandang disana bersama para seniman dibawah mentor Umbu Landu Paranggi. Pemuda ini adalah Muhammad Ainun Nadjib yang kemudian dikenal dengan panggilan Cak Nun. Jika kelompok Neo-Modernis adalah pemuda-pemuda pencari lulusan pesantren dan IAIN, maka Cak Nun muda adalah “orang usiran” dari sekolah, Pesantren dan drop out dari Universitas umum. Cak Nun tidak mengenyam pendidikan formal Islam secara baik dan terstruktur. “Pendidikan Agama”nya otomatis selesai setelah dia diusir dari Gontor. Seperti yang diakuinya sendiri, bahwa ”Saya tidak pernah memiliki Guru.” Namun, dalam pada itu, di Malioboro dia bertemu dengan seorang Pangeran Sumba yang memilih menjalani hidup sebagai zahid. Laki-laki yang meninggalkan Kerajaan dan seluruh hartanya serta kesenangan-kesenangan yang ditawarkan oleh posisinya untuk hidup menggelandang di Malioboro. Pilihan hidupnya seperti pilihan Sidharta Gautama atau pun Muhyi Din Ibn Arabi. Laki-laki inilah –Umbu Landu Paranggi- seorang guru bagi Para Penyair dan Sastrawan di Yogya era akhir 1960an hingga akhir 1970an. Kehidupan Umbu sangat unik. Pilihan-pilihan hidupnya juga diluar mainstream pemikiran orang pada umumnya. Keterlibatan yang intens dengan Umbu Landu Paranggi inilah yang diakui Cak Nun sebagai “pengalaman yang menjadi gurunya”. Umbu tidak pernah mengajarinya namun Umbu mengajaknya menikmati pengalaman-pengalaman dan peristiwa-peristiwa yang membuatnya belajar jauh lebih banyak tentang kehidupan. Jika boleh dideskripsikan, waktu itu Cak Nun muda adalah seorang “Pencari” dan Umbu memberikan metode-metode –mungkin dengan disadari atau tidak- yang membantu Cak Nun muda menjalani pencarian itu, tanpa mengarahkan akan menemukan apa. Seperti yang pernah dikemukakan oleh Cak Nun menirukan Umbu,”Orang mengalami pencarian mungkin pada usia 17 tahun, 25 tahun atau saat menjelang ajalnya dan baru menyadari apa sejatinya hidup ini. Dan N panggilan Umbu untuk Cak Nun telah selesai itu semua pada umur 17-18 tahun”. Kelak, “pendidikan ala Umbu” ini sangat kuat mewarnai corak pemikiran Cak Nun. Hal inilah yang membuat pemikiran-pemikiran ke-Islaman Cak Nun orisinil. Pengalaman-pengalaman hidup menempa dirinya untuk membuka dimensi-dimensi baru bagi pemikiran Islam. Wilayah-wilayah yang dulunya tak terjamah bahkan tabu untuk dimasuki. Cak Nun memiliki peluang untuk bergerak bebas karena dia tidak berada di dalam wacana pemikiran-pemikiran Islam yang dikembangkan oleh para Sarjana atau pun para pemikir Islam baik di Pakistan dan Afghanistan, Timur Tengah maupun Afrika Utara yang menjadi referensi utama Islam. Menemani Para Pencari Poin paling utama dari Pemikiran Cak Nun adalah Menemani Para Pencari. Cak Nun berperan besar dalam membuka kunci pencerahan, mengulur-mengembang cakrawala ilmu dan menginisiasi kesadaran Tauhid kepada para pencari Tuhan. Bisa jadi, kecenderungan ini tumbuh dari pengalaman pribadinya bersama Umbu Landu Paranggi. Maka, kecenderungan untuk menemani Para Pencari menjadi ekosistem bawah sadar. Hal ini dibuktikan dengan “Orang Maiyah” yang pada umumnya tidak menerima dan tidak diterima doktrin-doktrin cara ber-Islam yang secara umum ada. Kegelisahan pencarian ini kemudian menemukan oase-nya pada pemikiran-pemikiran Cak Nun. Pemikiran Cak Nun lebih responsif menemani Para Pencari dibandingkan dengan doktrin-doktrin agama pada umumnya. Hal ini bisa jadi karena pendekatan Cak Nun yang berangkat dari persoalan dan bersifat personal. Misalnya, sebagai salah satu pondasi keilmuwan Islam adalah Tauhid. Berbeda dengan doktrin ulama pada umumnya yang memperkenalkan Tauhid sebagai pengetahuan atau knowledge, Cak Nun memperkenalkan Tauhid sebagai pengalaman personal. Cak Nun menginstall mesin pencari pada kesadaran seseorang sehingga dia akan aktif bergerak sendiri untuk menemukan apa yang dia butuhkan. Dan, “Terserah Allah”. Cak Nun bukan penganut anthroposentris. Dia sepenuh-penuhnya Tuhan-sentris. Pendekatan ini merupakan sintesa dari metode tasawuf dan knowledge. Tasawuf memperkenalkan Tauhid hanya sebagai pengalaman personal yang “tidak diizinkan” untuk dideskripsikan dan peredarannya dibatasi hanya pada hubungan guru dan murid yang telah dibai’at. Sementara Tauhid sebagai pengetahuan sangat mungkin hanya berhenti sebagai pengetahuan. Cak Nun men-sistesa-kan keduanya dengan cara yang memikat. Cak Nun “membuka rahasia” kaum sufi di hadapan khalayak ramai sehingga setiap orang bisa mengakses kearifan tasawuf tanpa perlu menjadi anggota salah satu kelompok thoriqot. “Tidak boleh ada siapa pun yang berada diantara manusia dan Tuhannya.” Cak Nun juga dikaruniai kharisma untuk menggugah hati, mencerahkan akal dan “menundukkan kucing liar”. Menjelajahi Islam, Membuka Dimensi Orisinalitas Cak Nun dalam gagasan dan pemikiran Islam nampak jelas dari pendekatan-pendekatan yang digunakan. Dalam satu hal, gagasan Cak Nun boleh dibilang “dekat” dengan Neo-Modernis. Pada kesempatan lain, Cak Nun siyap memberikan perlindungan kepada Ust. Abu Bakar Baasyir yang diidentikkan dengan fundamentalis di kediamannya. Di lain waktu, Cak Nun bersama dengan Ibu-ibu Nahdliyin di desa-desa bersholawat bersama-sama menyampaikan kerinduan dan cinta kepada Rosulullah Muhammad. Pada waktu yang lain lagi, Cak Nun memberikan ceramah di Universitas Muhammadiyah atau dikunjungi para elit partai yang dikesankan turunan dari paham salafi atau wahabi. Hari berikutnya, Cak Nun dituduh penganut Syiah. Dimasa sebelumnya, Cak Nun mendatangi orang yang mengaku dirinya Nabi. Betapa sikap dan perilaku Cak Nun membuat mentah kategori-kategori, membatalkan teori dan menghancurkan pemikiran yang telah dikonstruksi. Hal ini bisa menjadi indikator bahwa gagasan-gagasan Cak Nun bersinggungan-beririsan dengan Neo Modernisme. Namun, Cak Nun terasa lebih radikal dan lebih progresif. Sebagai contoh, Cak Nun bersama Kiai Kanjeng dengan tanpa beban berceramah di gereja Pugeran, Yogyakarta. Cak Nun dan Kiai Kanjeng juga mengunjungi gereja dan synagog di Belanda untuk menginisiasi komitmen perdamaian diantara agama-agama. Sedangkan di Finlandia, Cak Nun juga pentas di dalam gereja dengan menolak Patung Yesus ditutup kain karena menurut pandangan Cak Nun,”Patung itu simbol Tuhan Yesus bagi orang Nasrani, tapi bagi kami itu patung biasa.” Dalam filsafat, pandangan ini disebut Hermeneutik. Segala kategori kajian Islam yang dibuat akan mentah begitu dipakai untuk menilai aktivitas dan pemikiran Cak Nun. Karena sebagian Cak Nun berdiri pada titik fundamentalis, sebagain yang lain liberal. Satu kaki Cak Nun terasa Muhammadiyah, sedangkan satu kaki yang lain beraroma Nahdatul Ulama. Masakannya kadang berasa Syiah, namun bumbu-bumbu di dapurnya Sunni belaka. Cak Nun adalah pelintas batas. Cak Nun menjelajah padang-padang pemikiran Islam yang tumbuh, menyeberangi sungai-sungai madzhab yang mengalir dan akhirnya berdiam di lautan. Seperti yang diungkapkannya yang kurang lebih isinya Kita mengikuti Islamnya Rosulullah. Sebelum lahir Sunni dan Syiah. Sebelum cabang-cabang ilmu Islam dikonstruksi. Jauh sebelum madzhab-madzhab lahir. Semua madzhab dan pendekatan yang kita gunakan ini muaranya adalah Islam-nya Rosulullah. Setiap madzhab ibarat sungai-sungai yang mengalir dan akan menuju ke muara-lautan. Bangunan orisinilitas pemikiran Cak Nun terjadi karena Cak Nun menggali pemikiran ke-Islam-an secara otodidak. Sehingga, pengaruh wacana pemikiran Islam yang diperkenalkan para Pemikir dan Sarjana Islam –kendati bisa jadi ada- menjadi relatif kecil. Maiyah Karya Sufistik Cak Nun Setelah berusia menjelang 50 tahun, Cak Nun menemukan format untuk membingkai seluruh aktivitas dan pemikirannya. Bingkai itu diberi nama Maiyah, akronim dari Maiyatullah. Menurut Dr. Nursamad Kamba, Maiyah merupakan karya Sufistik Cak Nun. Dr. Kamba menemukan konsep Maiyah sepanjang sejarah hanya dalam 3 konteks. Pertama adalah saat Rosulullah dan Abu Bakar dalam perjalanan hijrah ke Yatsrib dan hampir tertangkap oleh pasukan Qurays Mekah. Kedua diperkenalkan oleh Ibn Arabi. Dan ketiga diperkenalkan oleh Syaikh Yusuf al Makassari. Sebagai karya sufistik, Maiyah mengandung nilai-nilai akhlaq yang dimiliki para sufi, namun oleh Cak Nun diartikulasikan dengan kehidupan modern. Tidak diragukan lagi bahwa Cak Nun adalah seorang “salik”, penempuh jalan spiritual dengan kemampuan mengartikulasikan pemikiran-pemikiran filosofis serta menerjemahkan dunia metafisik untuk menuju Tauhid. Tidak salah jika Dr. Kamba menyatakan bahwa Cak Nun adalah “murid spiritual” Ibn Arabi. Dalam pada itu, Cak Nun memiliki kemampuan komunikasi yang memikat. Suaranya bagus dan berkarakter. Sebagai orang yang pernah bersentuhan dan terlibat dalam teater, Cak Nun menggunakan pengetahuannya tentang panggung dan keaktoran untuk mendukung metode komunikasi massanya. Dibantu oleh selera humornya yang tinggi, Cak Nun menjadi idola pentas. Ditambah lagi latar belakangnya sebagai Penyair. Pilihan-pilihan katanya, susunan kalimatnya, senantiasa indah dan menghunjam kendati diucapkan secara spontan. Karakter yang khas ini tentu tidak bisa dicetak atau disamai oleh siapa pun. Ia distinguish. Cak Nun membawakan pemikiran ke-Islam-an, filsafat, tasawuf, Tauhid dan pemahaman-pemahaman keilmuwan kepada khalayak dengan bahasa yang mudah dipahami, gembira serta membahagiakan. Itulah yang menjadi bingkai Cak Nun dalam aktivitas pelayanan sosialnya. Didukung oleh Kiai Kanjeng –kelompok musik avant garde multigenre- Cak Nun melakukan pelayanan sosial dibingkai dalam pigora Maiyahan. Kendati hingga saat ini pun, Maiyah masih terus bergerak untuk menemukan formula yang tepat bagi dirinya, pada zamannya.* Prayogi R. SaputraSumber Majalah Sabana edisi 7 th II. Mei 2015 ResearchGate has not been able to resolve any citations for this has not been able to resolve any references for this publication.

Wonogiri- Budayawan Nasional Emha Ainun Najib alias Cak Nun, Jum'at malam (04/05) di Alun-alun Giri Krida Bhakti Wonogiri, dalam acara "Sinau Bareng Cak Nun" menyampaikan bahwa di Indonesia yang mayoritas agama muslim.Kita mengkritik antar umat beragama boleh, tapi kita tidak mempunyai hak untuk memaksa agama orang lain karena agama adalah hak asasi manusia.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Memperbincangkan Allah tidak ada habisnya, tidak ada jeluntrungnya. Karena setiap kejadian tidak lepas dari iradat Allah, baik maupun buruknya perbuatan. Setiap hari semesta selalu menyenandungkan asma Allah sebelum sang surya tiba menunaikan hajatnya berkunjung ke bumi. Nama Allah bergemuru dan bergema di puncak langit membangunkan makhluk sejagat raya, lalu secara bersama-sama semesta memandu dengan indah seperti kelompok padus paduan suara internasional bahkan lebih kompak dan indah terdengar di telinga manusia. Hal tersebut tidaklah cukup untuk menggambarkan kesyahduan asma Allah jika dilafadzkan oleh hari terakhir ini, aku gunakan sedikit waktu Allah untuk membaca buku karya Cak Nun, seorang budayawan yang hampir semua karyanya membicarakan Allah. Salah satu karya beliau berjudul "Kiai Hologram", di dalamnya memuat berbagai macam curhatan Cak Nun tentang kehidupan di dunia ini. Mulai dari urusan yang receh dan remeh-temeh sampai dengan urusan besar dan fundamental menyangkut urusan dunia terurai dan dapat diatasi dengan guyunan nan apik dan berkelas yang mampu membuka satir kebohongan para elit krucil dan global. Kebohongan yang terselip di dasi para pejabat dan di dalam akal para individu, bahkan pemuka agama sekaligus sudah mampu terdeteksi oleh kecanggihan akal manusia. Adapun alat yang dapat menyerupai ialah artificial intelegency, dalam buku tersebut menyatakan bahwa benda mati dapat menyerupai manusia dalam hal kecerdasan, sehingga sudah tidak mungkin manusia melakukan kebodohan atas kehidupannya, apalagi sampai melupakan Allah dalam tindak tanduk perbuatannya. Sebagai manusia biasanya yang sudah terlanjur membaca buku beliau dan menikmati pemikirannya tentang hakikat kehidupan, maka barangpasti mendapat petunjuk bahkan hidayah dari buku tersebut. Salah satu contoh dari cerita tentang seseorang yang berpuasa untuk negara Indonesia karena kasihan melihat negaranya sedang dilanda banyak masalah. Mungkin dengan berpuasa Allah bisa memberi keringanan atau bahkan menghilangkan masalah-masalah di negaranya. Lalu seseorang tersebut ditanggapi oleh Cak Nun, yang mengatakan bahwa tidak perlu repot-repot berpuasa untuk Indonesia, yang benar adalah puasa untuk Allah saja. Sebuah narasi pendek yang sangat menohok pendengar. Negara Indonesia sama seperti manusia, mempunyai takdir baik ataupun buruk. Manusia tidak perlu khawatir berlebihan akan negaranya, serahkan saja pada Allah yang Maha Mengatur segala urusan. Lebih baik manusia mengurus urusannya sendiri saja, biar negara Allah yang mengurusnya. Jangan berburuk sangka jika Allah malah mencelakahkan negaranya demi kepentingan Allah sendiri, itu tidak mungkin. Makmur tidaknya suatu negara, Allah tidak mendapatkan keuntungan atau kerugian. Bagi Allah yang terpenting makhluknya hidup di bumi dengan aman dan damai. Itupun juga jika manusia patuh dan tak sembrono menghadapi kehidupan. Intinya pasrah sama Allah saja segala urusan, sebagai manusia cukup berusaha semampunya perbincangan di atas antara Allah, hamba dan negara, maka tentu tidak ada akhirnya karena alam semesta ini dapat berbuat apa saja dan mungkin secara tiba-tiba dan membuat para penghuninya terkejut. Tidak perlu was-was berlebihan, jika kata para petuah dan beberapa penceramah agama bahwa was-was adalah kerjaannya syaiton yang sedang berusaha menyesatkan anak adam untuk berpaling dari Allah. Jika perasaan was-was atas hal apapun yang belum terjadi itu tidak segera dihilangkan, maka akan sangat berbahaya. Sebab hal tersebut bisa saja memengaruhi orang lainnya agar bersikap demikian. Manusia cenderung mempercayai ucapan seseorang apabila dalam keadaan genting dan terdapat sedikit fakta yang itu belum tentu fakta melainkan hanyalah tipu daya dan dugaan sementara, tidaklah lain itu datang dari setan. Untuk itu sikap yang baik adalah melawannya, dengan tetap menanamkan sikap berbaik sangka dan percaya bahwa Allah akan mengurus semua urusan manusia dan alam semesta ini dengan baik. Bagaimana mungkin Allah sebagai pencipta alam raya ini berbuat tidak adil dengan menyulitkan Nun dalam bukunya selalu menamkan mindset kepada para pembacanya bahwa sebagai seorang yang tidak punya kuasa dan tak ada daya untuk melakukan kehendaknya, maka perlu campur tangan Allah dan hanya Allah yang mempunyai hak prerogatif atas semua yang terjadi. Manusia hanya perlu menikmati hidupnya dengan sebaik-baiknya, tidak perlu memikirkan hal di luar kuasanya. Sungguh bacaan yang asyik untuk dinikmati dengan suguhan secangkir kopi ataupun teh panas di tengah hiruk pikuk dunia. Lihat Humaniora Selengkapnya
AlKahf (18): 83-98 dalam kitab al-Fann al-Qasas fi al-Qur'an al-Karim. Undergraduate thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya. A. A'yuni, Ita Qurrota (2021) Pengaruh media video pembelajaran terhadap motivasi belajar anak usia dini di RA Hidayatul Muta'allimin Desa Brumbun Kecamatan Maduran Kabupaten Lamongan selama masa pandemi covid-19.
Cak Nun menjadi tokoh wayang. Foto - Salam Sedulur... Heboh isu pengharaman wayang masih menjadi buah bibir warnaget. Emha Ainun Nadjib atau lebih dikenal Cak Nun dalam satu kajiannya pernah membahas soal kesyirikan wayang dan hukum babi halam atau haram. Cak Nun mengatakan wayang bukan merupakan barang syirik. Syaratnya selama wayang tidak menjadi penyebab seorang Muslim lalai dari Tuhan."Wayang itu menjadi syirik kalau jadi penyebab kamu menduakan Tuhan berdasarkan wayang. Wayang ya gak popo," kata Cak Nun. Scroll untuk membaca Scroll untuk membaca Ia berkata, syirik terletak di otak dan hati seseorang. "Syirik itu letaknya di otakmu dan di hatimu. Kalau engkau menuhankan selain Allah, letaknya di dalam hati dan pikiranmu. Reco arca syirik, jare sopo kata siapa reco syirik. Itu syirik kalau kamu sembah sebagai Tuhan. Tapinya gak opo-opo," kata Cak Nun. Pelabelan barang halal-haram atau barang yang mengandung kesyirikan perlu konteks. "Jadi, tidak ada di luar dirimu syirik," kata Cak Nun, JUGA Apa Kira-Kira Jawaban Gus Dur Soal Isu Wayang Haram?Dalam ceramah yang sama, Cak Nun juga menyinggung soal hukum babi. Cak Nun menilai, babi tidak haram bagi seorang Muslim. "Tidak ada barang haram. Babi tidak haram," kata Cak Cak Nun menegaskan babi tidak haram selama tidak dimakan oleh seorang Muslim. "Haramnya babi bukan babinya. Tapi, kamu memakan babi. Halal kalau kamu biarkan, dia haram kalau kamu makan," kata Cak Nun, Nun berpendapat, fatwa terkait halal dan haram ada konteksnya dalam Islam yang perlu dipahami. "Ada konteksnya, ada peristiwanya. Tidak ada halal-haram tanpa konteks, tanpa ilah bahasa fiqihnya," kata Cak JUGA Klarifikasi dan Minta Maaf, Ustadz Khalid Tak Ada Kata-Kata Saya Haramkan WayangPersada Indonesia sedang disibukkan dengan isu pengharaman wayang. Ustadz Khalid Basalamah menjadi sasaran tembak karena dituding mengharamkan wayang, meski dalam video klarifikasi sekaligus permintaan maafnya, Ustadz Khalid menyatakan tidak pernah ada kata-katanya mengharamkan akun resmi Instagramnya, khalidsasalamahofficial, Senin 14/2/2022, Ustadz Khalid menegaskan dalam jawaban di potongan video yang viral tersebut, tidak ada kata-katanya yang mengharamkan wayang. Ia menyampaikan hanya mengajak agar menjadikan Islam sebagai JUGA Jawaban Ustadz Khalid Soal Dalang Taubat dan Wayang Dimusnahkan"Video ini teman-teman kami buat untuk klarifikasi sekaligus permohonan maaf atas potongan pertanyaan yang diajukan salah satu cuma beberapa tahun baru di Masjid Blok M di Jakarta, dan sekaligus jawaban kami tentang masalah wayang," kata Ustadz Khalid."Saya akan coba mengklarifikasi jawaban kami, saya coba bagi menjadi tiga bagian saudaraku seimam juga sebangsa dan setanah air. Yang pertama adalah lingkupnya adalah pengajian kami dan jawaban seorang dai Muslim kepada penyanya Muslim. Itu dulu batasannya.""Dan saya pada saat ditanyakan masalah wayang, saya mengatakan alangkah baiknya dan kami sarankan, kami sarankan agar menjadikan Islam sebagai tradisi jangan menjadikan tradisi sebagai Islam. Dan tidak ada kata-kata saya di situ mengharamkan," kata Ustad Khalid menegaskan."Saya mengajak agar menjadikan Islam sebagai tradisi, makna kata-kata ini juga kalau ada tradisi yang sejalan dengan Islam, tidak ada masalah dan kalau bentrok sama Islam ada baiknya ditinggalkan, ini sebuah saran." wayang wayangharam ustadzkhalidbasalamah khalidbasalamah ceramahwayangsyirik wayanggusdur caknun caknunwayangsyirik cakn Jawabannyaada dalam"Shalawat Global" made in Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), budayawan asal Jombang, Jawa Timur - satu daerah dengan dukun cilik Ponari dan tukang jagal Ryan. Shalawat ini mencuat setelah video pementasannya di depan jamaah Pengajian Tombo Ati disebarluaskan di internet.
- Politisi Partai Gelora Fahri Hamzah turut buka suara soal kontroversi ceramah Cak Nun yang menyebut Jokowi Firaun. Fahri mempertanyakan sikap para pendukung Jokowi dalam menghadapi kritik dan hinaan kepada presiden. Fahri Hamzah berkisah bahwa ia sudah mengenal Cak Nun sejak lama saat masih jadi mahasiswa. Ia mengakui bahwa pemikiran Cak Nun jauh lebih maju ketimbang pemikiran orang-orang pada umumnya. "Saya mengenal beliau sejak kuliah di depok. Zaman gelap, dia sudah terang. Tapi di zaman edan beliau mungkin memancing emosi kita supaya tetap waras," tulis Fahri Hamzah mengenang momen perkenalannya dengan Cak Nun, Jumat 20/1/2023. Menurut Fahri, perkataan budaywan bernama lengkap Emha Ainun Nadjib tersebut bisa membuat masyarakat bisa lebih mengenalnya. Baca Juga CEK FAKTA Jokowi Kaget Sampai Pecat Menteri Ini Karena Utang Negara Semakin Meroket Cak Nun menanggapi soal ceramah Jokowi Firaun. [Youtube/ pernyataan beliau adalah agar lebih banyak yang mengenal beliau," ujar Fahri. Mantan Ketua DPR RI ini menyarankan kepada pendukung Presiden Jokowi untuk segera menemukan cara tertentu ketika Jokowi menerima kritik dan hinaan. Ia berhadap para pendukung presiden bisa lebih elegan dalam menghadapi kontroversi. "Buat pendukung pak Jokowi, mungkin harus mulai lebih memerlukan cara yang tinggi untuk menjawab kritik bahkan hinaan pada beliau, agar beliau juga menjadi lebih tinggi dan berakhir dengan baik sebagaimana keinginan kita semua tentang pemimpin yang sudah memimpin kita cukup lama," saran Fahri Hamzah. Mantan politisi PKS ini juga mengingatkan lagi apakah Jokowi perlu pembelaan ketika ia dihina atau dikritik. "Tolong dipikirkan kembali, apakah presiden Jokowi memerlukan pembelaan yang berlebihan pada akhir masa jabatan beliau ini," sentil Fahri Hamzah. Baca Juga CEK FAKTA Presiden Jokowi dan Gibran Rakabuming Resmi Dukung Anies Baswedan, Ini Dia Alasannya Ia mengingatkan lagi agar para pendukung tokoh politik tak perlu berlebihan untuk membela pemimpinnya. "Jangan memantik ekstrimitas yang membuat akhirnya kita tidak logis memilih pemimpin yang akan datang. Kita harus tegakkan akal sehat!" pungkas Fahri Hamzah. Sebelumnya, materi ceramah Cak Nun yang menyebut Jokowi Firaun membuat para pihak pendukung Jokowi panas. Alhasil, Cak Nun menjadi topik pembicaraan paling populer di Twitter dalam tiga hari terakhir. Adapun dalam ceramahnya, Cak Nun menyebut Indonesia telah dikuasai sebuah sistem kekuasaan yang kuat. Di mana Jokowi diibaratkan sebagai Firaun hingga pengusaha Anthony Salim sebagai perlambangan Qorun. "Karena Indonesia dikuasai oleh Firaun yang namanya Jokowi, Qorun yang namanya Anthony Salim dan 10 Naga terus Haman yang namanya Luhut," kata Cak Nun.
TipsMenjadi Manusia Terbaik Menurut Cak Nun May 4, 2020 / in Artikel , lockdown / by Bentang Pada masa pandemi Covid-19 atau Corona ini, Cak Nun memberikan tips menjadi manusia terbaik. kita pasti sering mendapat kabar berita jika masih banyak masyarakat yang tak mengindahkan seruan social
Ketua Umum PP Persis KH Aceng Zakaria. JAKARTA - Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Islam Persis Aceng Zakaria merasakan duka cita mendalama atas meninggalnya KH Hasyim Muzadi. Ia mengenal almarhum sebagai sosok ulama berwibawa, santun, bersahabat, dan dihormati dalam dunia Islam. Menurut Aceng, semasa hidupnya, Hasyim Muzadi telah menunjukkan komitmen yang kuat dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam yang wasathiyah dan bersahabat. "Semasa hidupnya beliau menunjukkan komitmen kuat dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam yang wasathiyah, ramah, dan bersahabat dengan berbagai kalangan," ungkapnya seperti dilaporka laman resmi Persis, Kamis 16/3. Tak hanya dalam dunia Islam, menurut Aceng, Hasyim Muzadi tokoh yang telah memberikan sumbangsih positif bagi negara. Yakni dengan berjuang menjaga keutuhan dan integrasi bangsa. Ia berdoa untuk Kiai Hasyim Muzadi agar Allah SWT menerima segala amal saleh yang telah diperbuat oleh almarhum. "Semoga pula Allah bangkitkan para pelanjut perjuangan dan cita-cita mulianya sepeninggalannya," ucap Aceng. Seperti diketahui Hasyim Muzadi wafat pada Kamis 16/3 pagi, sekitar pukul 0615 WIB. Sebelumnya almarhum sempat dirawat cukup intensif di Rumah Sakit Lavalette Malang.
yO9Jz.
  • 4jpm61lf47.pages.dev/13
  • 4jpm61lf47.pages.dev/372
  • 4jpm61lf47.pages.dev/276
  • 4jpm61lf47.pages.dev/27
  • 4jpm61lf47.pages.dev/215
  • 4jpm61lf47.pages.dev/183
  • 4jpm61lf47.pages.dev/142
  • 4jpm61lf47.pages.dev/302
  • 4jpm61lf47.pages.dev/47
  • wahidiyah menurut cak nun